Peran PP Al-Hikmah Karangmojo dalam Peningkatan KRR


Oleh: Sabrur Rohim, SAg, MSI*)
Kesehatan reproduksi (kespro) didefinisikan sebagai keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial yang utuh, bebas dari segala penyakit dan kecacatan, dalam segala hal yang berkaitan dengan fungsi, peran & sistem reproduksi. Definisi ini pertama kali diluncurkan pada Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan, tahun 1994 di Kairo, Mesir. Lantas, apa saja hak-hak reproduksi perempuan itu? Dalam Konferensi Dunia tentang Perempuan IV di Beijing pada tahun 1995, perempuan diakui memiliki empat macam hak dasar: Pertama, hak mendapatkan standar tertinggi kesehatan reproduksi dan seksual; kedua, hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kebebasan reproduksi yang bebas dari paksaan, diskriminasi, dan kekerasan; ketiga, hak untuk bebas memutuskan jumlah dan jarak kelahiran serta hak untuk memperoleh informasi sekaligus sarananya; dan keempat, hak untuk mendapatkan kepuasan dan keamanan hubungan seks.
Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya taraf kespro, setidaknya jika ukurannya adalah terpenuhinya empat hak dasar di atas. Jika dianalisis lebih dalam, keempat hak di atas bisa dipilah menjadi dua menurut faktor yang mempengaruhinya. Pertama, untuk hak dasar yang pertama, tingkat tinggi rendahnya lebih dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan ekonomi. Rendahnya derajat pendidikan, misalnya, berakibat miskinnya wawasan tentang pelbagai hal, baik itu sikap, cara pandang, atau perilaku, yang menunjang ataupun mengganggu kespro. Karena miskin wawasan, maka tidak ada akses maksimal atas info-info aktual seputar kespro, atau minim, bahkan nir, kesadaran untuk mengambil langkah-langkah proaktif agar kesehatan reproduksinya tetap terjaga. Tak kalah penting, rendahnya tingkat perekonomian (baca: kemiskinan), jelas sangat berpengaruh terhadap kespro. Kemiskinan, misalnya, nyata-nyata ikut berperan dalam meninggikan angka kematian ibu (AKI)—dan tentu saja angka kematian bayi (AKB), karena kemiskinan menjadi alasan kuat rendahnya akses terhadap sarana dan layanan kesehatan, terutama dalam soal kehamilan dan persalinan. 
Kedua, untuk tiga hak dasar lainnya lebih dipengaruhi oleh faktor budaya yang berkembang di masyarakat. Misalnya, yang paling kentara, budaya patriarkhis. Budaya ini memandang bahwa perempuan adalah makhluk “kelas dua” (second class). Artinya, laki-laki dan perempuan tidaklah setara, melainkan yang pertama lebih tinggi dibanding yang terakhir. Pandangan ini bertolak dari pandangan konservatif—yang ironisnya dikuatkan oleh teks agama (Islam)—bahwa perempuan “separuh laki-laki”. Atas dasar ini, maka laki-laki dianggap lebih tinggi derajatnya dibanding perempuan. Sehingga, laki-laki di posisikan sebagai “pemimpin kaum perempuan” (dalam bahasa agama: qawwamun ‘ala al-nisa’).
Intinya, pandangan ini memposisikan laki-laki sebagai sebagai first-class. Dalam lingkup kehidupan keluarga, dengan dasar pandangan ini, mewujudlah suatu budaya di mana kaum perempuan ditempatkan di bawah kendali laki-laki, wali-nya, yakni ayah, saudara laki-laki, paman (dari garis ibu), dst, (meski) di dalam hal-hal menyangkut kepentingan perempuan itu sendiri. Khusus dalam soal perkawinan, posisi ini memberi kewenangan kepada sang wali untuk menentukan kapan si (anak) perempuan menikah, yang berarti pula, kapan ia menjalani hubungan seks (secara resmi) untuk pertama kalinya. Meskipun si (anak) perempuan masih berbau kencur sekalipun, tetapi sang wali menghendaki, memperbolehkan, mengizinkan (ketika ada lelaki yang melamarnya), maka tak bisa ada kata penolakan; ia harus menikah, yang berarti, ia harus berhubungan seks di bawah umur (usia dini).
Sedangkan dalam kehidupan rumah tangga, persisnya dalam relasi suami istri, pandangan yang demikian itu mengimplikasikan dampak yang cukup krusial, bahwa suamilah sebagai penentu keputusan mutlak. Perempuan (istri) harus taat kepada laki-laki (suaminya) dalam segala hal menyangkut masalah rumah tangga. Termasuk dalam soal-soal terkait reproduksi, suamilah yang menjadi penentu keputusan tentang, misalnya, (1) berapa jumlah anak mereka, yang berarti pula, berapa kali kehamilan dan persalinan yang musti dijalani istri), (2) jika pun punya anak lebih dari satu, atau bahkan lebih dari dua, dst, berapa jarak kelahiran antar anak, (3) jika ada perencanaan kelahiran, alat kontrasepsi apa yang musti dipakai, (4) jika memang berencana memakai alat kontrasepsi, siapa yang memakainya, (5) jika karena keadaan darurat tertentu harus melakukan aborsi, siapa yang berhak memutuskan untuk aborsi, dst. Jelasnya, dalam lima hal itu, keputusan bersifat monologis di tangan suami, bukan dialogis dari suami dan istri.
Nah, sampai di poin inilah saya hendak memberi penekanan. Yakni bahwa budaya patriarkis yang bercokol dalam kehidupan masyarakat, nyata-nyata, baik secara langsung atau tidak langsung, berpengaruh bagi rendahnya taraf kesehatan reproduksi. Asumsi ini saya ajukan dengan mempertimbangkan kenyataan ironis yang berkembang di masyarakat belakangan ini, yakni fenomena pernikahan dini. Sudah jamak diketahui, pernikahan dini adalah salah satu sebab utama maraknya kasus-kasus yang berkait dengan masalah kesehatan reproduksi seperti keguguran, kematian bayi, kematian ibu saat persalinan, dan kanker serviks (leher rahim).
Disebut pernikahan dini adalah ketika seseorang melangsungkan pernikahan padahal usianya masih kategori anak-anak (kurang dari 18 tahun). Seringnya yang sebagai korban adalah (anak) perempuan, dalam artian bahwa yang di bawah umur adalah si mempelai perempuan, sementara si lelakinya sudah cukup umur, atau malah sudah kepalang tua (bujang lapuk, duda, atau malah pria beristri).
Ada banyak faktor kenapa pernikahan dini bisa terjadi, tetapi secara umum ada dua yang merupakan arus utama dan akhir-akhir ini cukup menggejala.
Pertama, faktor anaknya sendiri, yang biasanya karena sudah telanjur hamil terlebih dulu, sehingga demi menutupi malu mau tidak mau memang harus menikah (married by accidence). Kenyataan ironis ini memang suka tidak suka musti kita maklumi, sebagai dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi, sehingga terjadilah akulturasi budaya Barat yang secara umum memang kurang kompatibel dengan budaya kita (ketimuran). Efeknya, antara lain, pubertas anak-anak remaja kita datang lebih cepat dari seharusnya. Yang lebih parah, anak-anak remaja kita terjangkit gaya hidup Barat yang negatif seperti pergaulan bebas, seks di luar nikah, dst. Maka muncullah kasus-kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD). Ketika terjadi KTD, kemungkinan tindak lanjutnya ya hanya dua: menggugurkan demi menutupi malu, atau melangsungkan pernikahan meski usianya belum matang/dewasa—juga demi menutupi malu.
Kedua, faktor orangtua si anak, dalam artian bahwa orangtuanyalah yang memaksa anaknya yang nota bene masih di bawah umur untuk menikah. Budaya ini masih bercokol kuat di masyarakat. Alasannya secara umum dua, yakni tradisi atau kultur, dan persoalan ekonomi. Tradisi atau kultur, karena pemahaman tradisional yang berkembang di masyarakat umumnya berpandangan bahwa anak perempuan tidak usah sekolah terlalu tinggi, cukuplah di rumah saja membantu pekerjaan dapur atau ladang. Yang sekolah tinggi biar anak laki-laki saja, karena mereka kelak akan menjadi pemimpin keluarga. Lagi-lagi ini merupakan efek buruk dari patriarkhisme dalam benak masyarakat. Masalah ekonomi, karena di masyarakat pedesaan, anak mungkin dianggap sebagai beban sekaligus aset ekonomi yang berharga. Dianggap beban, karena harus memberi nafkah kepada mereka (makan, sandang pangan, pendidikan, kesehatan, dll). Dus, jika semakin lama anak terikat dengan orangtua, maka beban mereka akan semakin berat. Dengan cepat-cepat menikahkannya, meski usianya masih dini, maka orangtua akan terbebas dari tanggungjawab menafkahinya, karena sekarang tanggungjawab tersebut berada di pundak suaminya. Dianggap sebagai aset, mungkin kasusnya seperti pernikahan dini seorang pimpinan pesantren di Semarang beberapa waktu lalu. Ketika kebetulan ada lelaki kaya yang datang melamar anak gadisnya yang masih kecil, diterimalah lamaran tersebut, dan dilangsungkanlah pernikahan sesegara mungkin. Ada harapan besar, jika sang anak mendapat suami orang kaya, maka setidaknya orangtua akan “kecipratan” kekayaannya itu (na’udzu billah).
***
Mengapa saya katakan ada kaitan yang sangat signifikan antara pesantren dan peningkatan taraf kesehatan reproduksi, terutama kesehatan reproduksi remaja (KRR)? Argumen saya menyatakan ini adalah didasarkan pada pengalaman dan survei kecil di pesantren gratis Al-Hikmah, Karangmojo, Gunungkidul, lembaga di mana kebetulan saya menjadi salah ustad. Hasil dari survei tersebut saya sistematisasi dan paparkan kurang lebih sebagai berikut ini:
Pertama, seratus persen santrinya, dari total 600-an anak (putra dan putri), diasramakan. Ada kebijakan pesantren, memang, bahwa semua santri wajib mondok, baik dia berasal dari atau luar Gunungkidul. Pesantren harus menanggung konsumsi per anak setiap harinya secara cuma-cuma (kurang lebih 2 kwintal beras setiap hari), untuk makan pagi dan makan malam.
Anak-anak hanya boleh pulang tiga bulan sekali, dibuat bergilir. Jika sudah terdaftar sebagai santri dan mondok, tidak boleh mengundurkan diri kecuali alasan jelas. Mereka juga diharuskan menempuh pendidikan baik pesantren maupun formalnya sampai tingkat menengah atas (pesantren menyediakan pendidikan formal: SMP, SMK, dan MA). Bahkan, ada tambahan, untuk yang tidak hendak melanjutkan kuliah, ijazah mereka ditahan selama setahun, dan mereka harus mengikuti program “santri pengabdian” di pesantren. Jadi, kalau mereka masuk pesantren di usia SMP, mereka setidaknya musti mondok selama 7 tahun.
Kedua, lebih dari 60 persen santri-santri di pesantren tersebut adalah berjenis kelamin perempuan, alias santriwati. Penulis sudah pengalaman mengajar beberapa kelas. Faktanya, jumlah santriwati rata-rata dua kali lipat jumlah santriwan.
Ketiga, lebih dari 75 persen santri (tanpa membedakan jenis kelaminnya) adalah warga atau penduduk asli Gunungkidul, DI Yogyakarta, di mana sebagian besar warga kabupaten ini identik dengan tingkat perekonomian yang rendah (miskin).
Keempat, secara umum, tanpa membedakan jenis kelamin maupun asal daerah, santri-santri di pesantren ini merupakan anak-anak dari golongan ekonomi lemah. Dengan kata lain, umumnya, kemiskinanlah yang menjadi alasan, kenapa mereka tertarik untuk menjadi santri Al-Hikmah. Jika alasannya tidak tercukupi kebutuhan pangannya, pesantren tersebut menggratiskan makan saban harinya. Jika alasannya tak punya biaya pendidikan, pesantren tersebut juga menggratiskan biaya sekolah (baik tingkat SMP maupun SMU-nya). Ada, memang, beberapa santri yang berasal dari golongan menengah. Tetapi, umumnya, mereka “dititipkan” oleh orangtuanya ke pesantren karena, konon, ingin anak-anaknya agar bisa “terdidik” untuk hidup prihatin, atau ada juga—dan ini kecenderungan umum—karena tertarik dengan model pendidikan yang diterapkan oleh pesantren.
Sebagai tambahan informasi, pesantren hanya menyediakan makan dua kali sehari, yakni pagi dan sore. Setiap Senin dan Kamis santri diharuskan berpuasa sunnah. Untuk makan siang, bisa jajan sendiri di lingkungan pondok, tentu saja dengan uang mereka sendiri (bagi mereka yang dari keluarga mampu). Dengan pola makan ini, nyatanya sebagian besar santri betah dan bisa menjalaninya. Namun asal tahu saja, secara umum, bukan karena itu menjadi pilihan mereka, melainkan karena memang tidak ada pilihan lain, disebabkan oleh kemiskinan keluarganya di rumah. Lebih baik bertahan dengan makan dua kali sehari tetapi bisa sekolah, daripada pulang ke rumah orangtuanya makan bisa lebih dari dua kali tetapi tidak sekolah. Mungkin itu yang ada dalam pikiran mereka.
Dari profil gambaran “demografis” tersebut di atas, saya kemudian mengambil sebuah kesimpulan mendasar, bahwa pesantren (semacam) Al-Hikmah ini tidak saja berkontribusi dalam membantu anak-anak miskin untuk mendapatkan pendidikan yang memadai (sampai tingkat SMU), namun bersamaan dengan itu juga berperan besar, dan bahkan signifikan, dalam peningkatan taraf kesehatan reproduksi remaja. Mengapa demikian?
Pertama, dengan adanya keharusan untuk merampung proses belajar sampai ke tingkat SMU (aliyah/SMK), berarti para santri akan benar-benar telah mencapai taraf dewasa ketika lulus atau keluar dari pesantren nantinya (kira-kira umur 18 atau 19 tahun). Sebab, menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, batas antara kanak-kanak dan dewasa adalah usia 18 tahun. Dengan menamatkan pendidikannya hingga tingkat SMU/SMK/Aliyah, akan memungkinkan mereka terhindar dari praktik pernikahan dini. Berdasarkan survei kecil yang saya lakukan, kebanyakan santri putri mengaku, ada kecenderungan jika tidak sekolah atau mondok, orangtuanya di rumah akan menyuruh mereka menikah saja.
Kedua, rata-rata, sebagian besar, umumnya (untuk tidak mengatakan keseluruhan) yang menjadi korban dari praktik pernikahan dini adalah anak perempuan; mereka menjadi “korban” dari wali mujbir yang bisa memaksakan anak perempuan untuk melangsungkan pernikahan kapan saja, sesuai kehendaknya, dengan mengatasnamakan agama. Faktanya, mayoritas santri di Al-Hikmah adalah putri, perempuan (santriwati), sehingga dalam konteks ini pesantren jelas ikut berperan dalam meminimalisir ataupun mengurangi angka praktik-praktik pernikahan dini yang nota bene merugikan anak perempuan, karena menempatkan mereka sebagai korban terbesar.
Ketiga, mayoritas santri adalah dari keluarga kelas menengah ke bawah (miskin). Sementara, kemiskinan—seperti sudah jamak diketahui—adalah salah satu alasan ataupun akar penyebab dari kasus-kasus pernikahan dini. Fakta di lapangan banyak membeberkan kepada kita, praktik pernikahan dini umumnya terjadi di daerah-daerah miskin. Kasus pernikahan dini oknum syekh di Semarang adalah contoh paling kentara dalam konteks ini. Asumsi yang berkembang, sangat patut diduga bahwa sang syekh ada kecenderungan untuk mengeksploitasi kemiskinan keluarga si anak, dan begitu pun sebaliknya, ayah si anak sendiri seolah-olah ada keinginan untuk mendapatkan “manfaat finansial” jika anak gadisnya yang asih kencur itu dapat menjadi istri seorang milyarder.


         Keempat, dalam lingkup pesantren, jelas santri mendapatkan pendidikan agama yang ketat, sehingga memiliki filter moral-keagamaan yang relatif baik dan memadai, sehingga memiliki daya tahan untuk terhindar dari praktik-praktik amoral yang merusak kesehatan reproduksi: perzinahan, pemerkosaan, free-sex, dan sejenisnya, dengan berpijak pada pertimbangan kognetif-teologis bahwa tindakan atau perbuatan semacam itu adalah tidak bermoral secara keagamaan. Belum lagi, santri juga diberi ajaran-ajaran seputar fikih munakahat, hal mana di dalamnya jelas tercakup juga wawasan-wawasan keagamaan seputar bagaimana menjalin relasi biologis yang sehat antara lelaki dan perempuan dalam konteks hidup berumahtangga.

        Kelima, nah ini yang menarik, di PP Al-Hikmah juga telah berdiri PIK Remaja, yakni PIKR “Bening Hati”, merupakan PIKR pertama yang dirilis oleh BKKBN di lingkup pesantren. PIKR Bening Hati berdiri tahun 2013, dan telah banyak mengukir prestasi baik di tingkat kabupaten maupun DI Yogyakarta. Yang jelas, dengan adanya PIKR ini, para santri memiliki wawasan dan kesadaran tentang kespro, tentang pentingnya pendewasaan usia perkawinan. Jadi memang ada nilai plus di PP Al-Hikmah ini, yakni selain mendalami nilai-nilai agama, pelajaran-pelajaran umum, juga wawasan tentang kesehatan reproduksi.


Oleh karena itulah, saya berpandangan, sudah semustinya kita memberi apresiasi yang tinggi kepada lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren, dan dalam kasus ini adalah semacam pesantren Al-Hikmah ini. Sebab, peran dan kontribusinya sangat signifikan bagi pembangunan generasi bangsa yang berkualitas di masa depan. Kemiskinan, pendidikan, kesehatan (baca: kesehatan reproduksi), bukankah kesemua ini masih menjadai masalah-masalah krusial bangsa kita? Pesantren (semacam) Al-Hikmah, sebagaimana saya ketengahkan sebagai test case-nya, secara tidak langsung berperan penting dalam membantu pemerintah menangani ketiganya secara sekaligus, dengan menyelenggarakan pesantren dan sekolah gratis. Wallahu a’lam.***  

*) Penulis adalah PKB Girisubo dan Pembina PIKR Bening Hati
0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine